Tiba tiba saja aku sudah di sini.
Diakali langit, sendiri.
Melihatmu
Meneduhkan
Sekejap senyap tanpa sempat mengerjap
Aku hilang sikap, dan kau lenyap.
Melihatmu, menyejukan
Hangat. Lekat.
Disana, duduk aku
Yang memandang bahumu
Di ruang penuh kursi
Di penghujung masa transisi
Dalam diam memandangmu
Dengan bingkai mataku
Kau, cantik.
Tanganmu. Tahi lalat dan segaris rambut halus di tengkukmu
Sekali remas dan aku tak lagi ingat cemas.
Jemari menggenggam. Mengayun.
Kaki kaki melompat dan berlari
Bawa aku
Diam ini seribu tahun
Dalam hati pun siapa kan tahu
Kau indah bagiku
Tak perlu yang lain untuk tahu
Karena aku memilikimu
Setiap lekuk mata itu
Segaris wajah cantik itu
Selengkung senyum, sehembus nafas
Segelak tawamu. Kuhafal mati. Miliku
Kaulah segala indahku
Kau sedari dulu
Di mataku, tak pernah hilang
Meski aku sedang tak menatap
Meski sedang gelap pekat
Tanpa aku harus selalu berucap,
Kau tetap; Cantik.
Kehilanganmu ...
kosong.
Semarang, 28 Desember 2013
Aku tak ingin bertemu. Bukan karena aku enggan. Hanya mungkin, undur diri terlalu mencekat.
Bagaimana mungkin aku yang mencintaimu. Kehilangan kamu yang begitu mencintaiku,.
Bagaimana mungkin, kamu, hatimu ... Bukan aku lagi yang memiliki?
Bagaimana mungkin
Kamu tak lagi genggam tanganku dengan jemarimu,
Yang seluruh dambaku ada padanya. Yang betapa aku jatuh cinta kepadanya
Bagaimana mungkin
Aku menyusuri kota-kota kenangan kita. Sendirian. Tanpa kamu
Tuhan suruh aku pergi
Ia tahu aku tak baik
Tak mungkin pun jadi mungkin
Aku yang begitu mencintaimu, pergi darimu?
Sekalipun aku tak disisimu hatiku tak pernah pergi
Ia tak pernah menyesal telah memilihmu
Lagi, dan lagi.
putih biru, kemudian abu-abu. kita menuju ke keberanjakan
Hitam putih. Kau menyerah terhadapku
Bagaimana mungkin aku yang bergitu mencintaimu,
Berpisah dari kamu yang dulu begitu mencintaiku
Segala maafku antarkan di pintu rumahmu
Kutitip salam
Tuhan suruh aku cepat cepat berlalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar