Love Earth, Save The Energy

Senin, 21 Juli 2014

Membacamu

Gerimis baru saja turun. Sebentar kemudian titik airnya menempel di sudut-sudut kaca, membasahi
etalase. Sore itu, seperti sore-sore lainya di bulan Januari. Hujan turun.
 

🌂🌂🌂
Dari balik bar espresso ini aku menangkap sudut matanya menyapu jalanan aspal yang lengang.
Kelabu, lembab dan basah. Mungkin karena ini hari hujan, tidak banyak orang diluar berlalu-lalang.
Hanya segelintir yang berjalan dengan cepat. Sebagian berlari kecil sambil menggenggam payung,
atau apapun sekedar untuk menutupi kepala. Entahlah, aku tidak tahu apa yang membuatku
memerhatikanya. Banyak orang terlihat bersedih di hari seperti ini. Hanya saja, suatu nelangsa yang
begitu kentara kurasa...
Matanya, seperti di luar. Berwana lebih terang, namun kurang lebihnya sama; mendung.


= = =
Kedai kopi ini kecil, dan berjendela lebar. Tentu saja merupakan satu hal yang kusukai. Alasanya
sederhana: siapa yang tak suka duduk di pinggir jendela? Dengan cahaya seperti ini dan memang tidak ada yang lebih sempurna ketimbang intensitas cahaya matahari ketika mendung.
Diluar jalanan begitu basah. Bau tanah dengan gemerciknya yang selalu sama. Hujan... Aku memejamkan mata,
aku sudah menunggu... Dan kini aku mendengarkan.
Kubayangkan wanginya. Ketika jatuh, basah mengecup tanah. Segala yang menguap ke udara, lembab ditiup angin.
Bercampur dengan aroma secangkir venti latte yang mulai dingin. Aku merasakanya; rintik hujan telah menjelma menjadi air mengalir,
melapisi kaca kaca jendela. Hawa panas siang tadi sudah menguap entah kemana.
Mengapa hujan selalu begini menyenangkan?


= = =
Rambut halus menjuntai lembut dari buku buku jari tangan kananya ketika ia menopang kening.
Sementara tanganya kirinya seperti menari. Menggores entah apa berulangkali di permukaan kertas. Menggambar?
Bagaimana ia... Sementara matanya, masih sama seperti tadi. Menatap jauh ke luar jendela.
Pukul 3.00 pm, lampu utama belum saatnya dinyalakan. Mendung masih menyisakan sedikit cahaya. Membentuk siluet dari wajahnya. Secangkir lagi venti pesanan telah siap. Mengapa aku jadi begitu ingin tahu tentang apa yang sedang difikirkanya?

...
Ajari aku membaca hujan 
Agar aku mampu membaca air
Ajari Aku mendengar angin 
Agar aku sanggup mendengar
 
Lirih cerita di balik bahana
Bahana...
Suaramu... suaramu...
Ajari aku meramal langit
Agar aku tak tersesat di peta
Tubuhmu
Tubuhmu...

Ajari aku membaca hujan

Sebuah lagu, yang sangat ia kenal melebur dalam ambience ruangan.
Barista itu tersenyum, lalu kembali bersiap untuk cangkir cangkir kopi selanjutnya
Lagu itu kini samar samar. Menemaninya dalam tanya yang ia nikmati


🌻🌻
Di luar, lampu-lampu kota mulai menyala, menyaru diantara hujan.
Di kedai kopi kecil, bunga matahari sedang mekar di selembar kertas di atas tanahnya.
Bersamanya air masih jatuh melapisi jendela-jendela kaca. Melepas kenangan kenangan
yang tak terbaca

Terinspirasi lagu Membaca Hujan/Dialog Dini Hari
https://soundcloud.com/elwangke/membaca-hujan

1 komentar:

afifahrhmwt mengatakan...

hi dip
the second time i visit ur blog, the second time i impress with ur words
keep on writing
waiting for another new post